Rabu, 10 September 2014

Aku Dan Ayah

Ayah, Bapak, Papa, Papi, Abah atau apapun sebutannya, yang pasti adalah orang tua laki-laki kita. Darahnyalah yang mengalir dalam urat nadi kita. Nafasnyalah yang selalu diberikan untuk kita. Seorang laki-laki yang selalu bekerja keras untuk menopang kehidupan keluarganya. Lelaki yang yang dipundaknya tertumpu beban berat tanggung jawab untuk keluarganya.

Beberapa waktu yang lalu saya membaca buku catatan anakku, disana dia menulis "Bapak adalah seorang lelaki yang selalu menepuk pundak anak gadisnya dengan diamnya, tapi sebenarnyalah dipundaknya semua beban keluarga dipikulnya, dan walaupun mulutnya diam tapi hatinya  menangis ketika berpisah dengan putrinya". Dia menulisnya ketika kami pertama kali berpisah dan meninggalkannya di Pesantren. 

Mungkin seperti itulah seorang Ayah atau Bapak semua orang, tak terkecuali Bapakku. Bapak adalah seorang laki-laki pekerja keras, sampai-sampai jarang sekali aku melihat Bapak beristirahat. Dikaruniai 6 orang buah hati, tentulah bukan hal yang mudah menghidupi kami semua. 

Tapi bagi Bapak tak ada yang tak bisa dikerjakan, semua usaha dilakukan beliau. Mulai mengolah sawah, bekerja lepas di sebuah Pabrik gula di kotaku ( sampai menjadi karyawan tetap ), berjualan ayam setiap subuh, berjualan beras disiang hari hingga membantu Ibu berjualan di warung.

Saat kami masih tinggal didesa Bapak, setiap pagi beliau berjual-beli ayam kampung. Pagi buta beliau sudah berangkat bersama sepeda onthel dan rombong /keranjang ayam dibelakangnya, setelah agak siangan beliau pulang. Disaat itu biasanya aku selalu menanyakan keberadaan beliau, "Bapakku manyeng dhi..." (Bapakku tadi mana...) begitu kataku dengan kalimat cadel, karena waktu itu aku masih balita. 

Kemudian setelah bertemu, segera aku dinaikkannya diatas rombong ayam, dan dengan riang diajak berkeliling di jalan sekitar rumah dan aku senang sekali. 

Setelah kami pindah di desa Ibuku, Ibu membuka warung nasi dari pagi sampai malam. Setiap pagi buta sekitar jam 3an disaat kami masih sibuk dengan mimpi kami, asap sudah mengepul dari dapur, tanda api di tungku untuk memasak dengan bahan bakar kayu, sudah dinyalakan oleh Bapak. Sambil menunggu subuh datang, beliau menanak nasi untuk Ibu berjualan. Bila subuh akan menjelang, barulah Bapak membangunkan Ibu dan kami semua.

Kemudian barulah Bapak memulai aktivitas barunya berjualan beras keliling kampung, ini dilakukan sampai beliau menjadi pegawai tetap di sebuah Pabrik gula ditempat kami sebagai seorang SATPAM. 

Walaupun seorang SATPAM, Bapak sangat memperhatikan pendidikan kami. Setiap bulan Bapak selalu membelikan kami buku tulis, dirumah kami dibuatkan ruangan khusus untuk belajar. Yang didalamnya berisi rak, yang penuh dengan buku apa saja, meja dan kursi. Setiap dari kami, anak-anak Bapak mendapat jatah rak sendiri-sendiri untuk buku-buku kami. Jadi bila kami perlu kami tidak kebingungan bila mencari buku yang kami butuhkan.

Kami, masing-masing juga dibelikan sepeda onthel untuk keperluan sekolah. Setiap hari beliau selalu mengelap dan mengecek kondisi sepeda kami. Agar kami aman mengendarainya sampai ke sekolah. 

Setiap sore setelah magrib, saat itu aku belum sekolah, Bapak sudah mengajariku berhitung sambil aku menginjak-injak punggung Bapak ( memijat dengan kaki ). Sehingga walaupun aku belum sekolah, aku sudah hafal perkalian 1 - 10 bahkan lebih. Selain itu beliau juga mengajari kami sholat dan agama. 

Dari kebersamaan inilah, saya lebih dekat kepada Bapak, dari pada Ibu waktu itu. Bila aku sakit, selalu "Bapak" yang aku sebut dalam mengingauku ataupun dalam tanyaku. Saat tubuhku demam, aku sering meminta Bapak mengendongku. Saat itu rasanya pelukan dan dada Bapak, adalah tempat ternyaman, teradem dan terenak untuk tidur, Aku selalu terlelap dalam gendongannya. 

Walaupun aku sudah sekolah aku tidak pernah malu digendong Bapak, karena mungkin tubuhku waktu itu kecil dan mungil. Jadi Bapak sering mengendongku. Bapak laksana pelindung bagiku, saat Ibu marah atau saudara-saudaraku memarahiku, Bapak selalu membelaku. Saat pergi ke sawah, dan demi melihat lipan-lipan kecil yang aku takuti, beliau berjalan didepan dan menginjak-injak lipan itu sehingga aku berjalan tanpa rasa takut.

Saat aku menjalani operasi pengangkatan pen karena patah tulang ( setahun sebelumnya operasi pemasangan, tapi operasi ditunggui oleh paman ), dengan samar-samar aku melihat Bapak menyeka airmatanya berkali-kali demi melihat aku meringis kesakitan setelah keluar dari ruang pemulihan menuju ruang perawatan. Baru kali itu aku melihat Bapak menangis, mungkin hati Bapak teriris melihat putrinya merintih kesakitan pasca operasi.

Aku bukanlah seorang yang takut dengan kegelapan. Tapi entah kenapa bila listrik padam aku selalu terkejut, dan berteriak memanggil Bapak secara reflek. Hal ini berlangsung sampai aku menikah, dengan susah payah aku menghilangkan kebiasaan ini, dengan mengubahnya memanggil suamiku.

Pernah suatu ketika, ada sebuah iklan TV yang didalamnya menceritakan tentang seorang ayah yang mengunjungi anaknya di kota, tetapi berhubung si ayah tidak memberi kabar kepada si anak. Maka si anak diwaktu yang sama bepergian ke luar kota, dan ketika si Ayah datang rumahnya dalam keadaan kosong dan terkunci padahal saat itu hujan deras. Saat melihat itu aku selalu menangis, aku tidak bisa membayangkan seandainya laki-laki tua itu adalah Bapak, sampai-sampai aku meminta kepada suami untuk menghubungi pembuat iklan, agar menghentikan iklan itu.

Bapak sedang menimbang hasil panennya. Di usianya yang lanjut beliau masih dan
selalu bersemangat , seakan tak pernah habis energinya. Masih menggarap sawah,
membantu Ibu berjualan, memotong kayu, berkebun dan lain sabagainya.

Alhamdulillah diusia beliau 79 tahun, beliau masih diberi kesehatan. Beliau setiap hari masih membantu Ibu di dapur untuk berjualan sampai sekarang ( Ibu tidak mau berhenti berjualan, katanya agar ada hiburan karena setiap hari bisa bertemu banyak orang, dan sekarang berjualannya hanya jam 6 - 8 pagi saja ). Beliau juga masih bisa mengolah sawah, mengurus kebun dan lain-lain.

Walaupun sempat beberapa kali mengalami operasi karena ada batu prostat, tetapi semangat beliau tak pernah surut. Saat dokter memeriksa jatung Bapak, beliau berkata ( Dokter )"Bapak ini walaupun sudah berumur tujuh puluhan, tapi semangatnya seperti anak tujuh belasan". Alhamdulillah aku bersyukur sekali.

Terimakasih Pak, sudah menjadi Bapak terhebat untukku. Terimakasih sudah menjadi pelindungku, selalu ada untuk putrimu yang ringkih dan merepotkan. Terimakasih sudah mengajariku untuk selalu berbuat baik kepada siapapun tanpa pandang bulu, berlaku sopan kepada siapa saja yang ditemui, selalu berbagi apapun yang kita punya walaupun sedikit dan selalu mengingatkanku untuk tidak pernah meninggalkan perintah Agama. Selalu ada setiap kali aku membutuhkan, selalu memberi nasehat untuk kami melangkah ke kehidupan yang akan datang. Selalu menyemangati kami untuk tidak berputus asa dalam kehidupan. Untuk selalu optimis dalam meraih impian. Untuk semua doa-doamu dan semua kasih sayangmu yang berlimpah untuk anakmu yang selalu menyusahkamu ini.

Semoga Allah selalu mencurahkan kasih-sayangnya, memberi kesehatan, kebahagiaan dan umur yang barrakah untukmu juga Ibu, Pak......Terimakasih. 







18 komentar:

  1. aamiin...salam buat bapak ibu ya mbk :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Insyaallah sy sampaikan bila berjumpa mbak Hanna...terimakasih

      Hapus
  2. Aamiin ...

    Allahu yarham ayah ,,,, :)

    BalasHapus
  3. Amiiie,,,sungkem ama bapak ya mak iro,,,,tpi sayangnya bapakku gak spt itu mak,,,:(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak Dwi insyaallah sy sampaikan... Mgkn setiap Bapak berbeda ya mbak...tp pasti jg sayang pada anak-anaknya...

      Hapus
  4. Saya melihat iklannya. Kalau nda salah, dalam pemahaman saya sih. Si Bapak menjemput anaknya yang akan pulang kuliah. Hujan memang dalam iklan itu. Namun si anak gadisnya nggak menemuinya. Mungkinkah perasaan malu dijemput sang ayah dengan sepeda motor? Akhirnya keihlasan pula jawabannya. Si Anak akhirnya mau dijemput oleh sang Ayah Kalau nda salah pemahaman saya itu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh bukan yg itu pak Asep... dulu iklan telkom... jd inti iklannya jika telepon itu penting begitu pak Asep... tp cm sebentar sj iklannya... mgkn ada yg protes krn gak tega spt saya... hihihi...

      Hapus
  5. Mbak,... baca ini aku jadi kangen banget saya ayahku...
    Ayah memang sosok yg kuat, dalam "diam"nya mereka sebenarnya sangat perhatian dan sayang sama keluarganya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dikunjungi mbak Ayahnya... biar terobati kangennya...
      Begitulah Ayah ya mbak...

      Hapus
  6. Mbrebes mili mbak, q bacanya... Smg bapak ibu diberi ksehatan..

    BalasHapus
  7. Semoga bapak senantiasa sehat mbak. Bersyukur sampean mbak saya sudah ditinggal sejak SD

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin....Iya mbak sy beruntung sekali......
      O ya mbak..? berarti Ibu orang yang kuat dan hebat ya mbak bisa mendidik mbak Nunu hingga menjadi orang yg membanggakan spt sekarang...

      Hapus
  8. Sekarang sudah enggak pernah melihat Bapak2 bawa ayam kampung di sepeda onthelnya. Harus ke pasar dulu. Hehehe


    Semangat orangtuanya tumbuh terus ya, Mba. Semoga menular ke anak2nya. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak Idah... skrg kebanyakan pkai spd motor....
      Aamiiin

      Hapus
  9. Amiiiin, semoga beliau berdua sehat selalu Mba..

    BalasHapus